1. Tatalaksana Farmakologi Hipertensi pada
Hiperaldosteronisme Primer
I Gede Yasa Asmara
Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia
AbstrAk
Hipertensi secara umum menurut etiologinya dibagi menjadi primer dan sekunder. Hiperaldosteronisme primer merupakan salah satu
penyebab hipertensi sekunder yang memiliki terapi spesifik dan dapat disembuhkan. Hiperaldosteronisme primer berdampak pada multiorgan
antara lain penurunan sensitivitas insulin pada otot dan jaringan lemak, gangguan fungsi sistolik dan hipertrofi otot jantung, inflamasi ginjal,
dan aterosklerosis. Diagnosis melalui tiga tahapan, yaitu skrining, tes konfirmasi, dan analisis subtipe. Tatalaksana meliputi non-farmakologi,
medikamentosa, dan pembedahan. Obat golongan antagonis mineralokortikoid seperti spirolonakton dan eplerenon merupakan pilihan utama
untuk hiperaldosteronisme primer.
kata kunci: Hiperaldosteronisme primer, hipertensi, patofisologi, tatalaksana
2. Diagnosis Sindrom Piriformis
Daniel Mahendrakrisna
RSUD Kota Surakarta, Indonesia
Abstrak
Sindrom piriformis adalah neuropati perifer kompresi muskulus piriformis pada nervus iskiadikus. Kelainan ini banyak ditemukan pada wanita
dan cenderung luput dari diagnosis karena banyaknya penyakit dengan gejala yang sama. Aktivitas berlebihan dan duduk lama merupakan
pencetus. Gejala dan pemeriksaan fisik sederhana seperti Pace sign, Freiberg sign, pyriformis sign, dan Beatty sign dapat membantu diagnosis.
Tatalaksana mencakup farmakologi obat anti-inflamasi non-steroid, fisioterapi, psikoterapi, dan pembedahan.
Kata kunci: Kompresi saraf, neuropati, sindrom piriformis
3. Tinjauan atas Stevens-Johnson Syndrome dan
Toxic Epidermal Necrolysis
Cinthia Christina Dewi
PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Inonesia
AbstrAk
Stevens-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis (SJS/TEN) merupakan kasus jarang dengan kejadian 1-10 kasus per 1 juta kasus per tahun,
tetapi potensial mengancam nyawa. Etiologi tersering adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Patogenesis SJS/TEN belum sepenuhnya
dimengerti. Gejalanya diawali dengan gejala prodromal flu like symptom diikuti timbulnya bula dan epidermolisis. Komplikasi tersering adalah
hipo- dan hiperpigementasi pada kulit serta mata. Tatalaksana terbaik adalah menghentikan obat yang diduga sebagai pencetus, terapi suportif
berupa penggantian cairan dan elektrolit, terapi sistemik dan topikal, serta terapi untuk komplikasi pada mata.
kata kunci: Hipersensitivitas, reaksi alergi obat, Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis,
4. Keratosis Pilaris
Ratih Purnamasari Nukana
Alumna Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, Indonesia
ABSTRAK
Keratosis pilaris sering dialami saat kanak-kanak dan akan membaik seiring bertambahnya usia. Beberapa faktor risiko antara lain keturunan,
riwayat penyakit kulit lain, jenis kelamin, usia, jenis kulit kering, dan cuaca. Pilihan pengobatan meliputi emolien, keratolitik, steroid topikal, dan
terapi laser. Hasilnya bervariasi antar individu.
Kata kunci: Hiperkeratosis, keratosis pilaris
5. Diagnosis Klinis, Tatalaksana, dan Pencegahan
Chlamydial Conjunctivitis
Adriani Sakina
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia
Abstrak
Konjungtivitis merupakan salah satu penyakit mata yang umum. Penyebab konjungtivitis antara lain alergi, zat kimiawi, reaksi imun, dan infeksi.
Salah satu agen infeksi penyebab konjungtivitis adalah Chlamydia. Infeksi Chlamydia mata dibagi menurut klasifikasi Jones, meliputi blinding
trachoma, non-blinding trachoma, dan paratrachoma. Diagnosis Chlamydial Conjunctivitis ditegakkan berdasarkan klinis. Berbagai pemeriksaan
laboratorium dilakukan saat survei epidemiologis atau penelitian.
Kata kunci: Chlamydia, conjunctivitis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan